Login
Latest topics
Top posters
Michi | ||||
shaka | ||||
Don Corleone | ||||
Sevenseent | ||||
ezapos n-gage | ||||
ai ichimay | ||||
d'kZkG | ||||
rudy_comel | ||||
amekx | ||||
idna |
Kliping - Sekeping Uang Begitu Berarti buat Mereka
4 posters
Halaman 1 dari 1
Kliping - Sekeping Uang Begitu Berarti buat Mereka
MESKI tengkurap sambil beralaskan dagu di lantai mushalla yang sejuk, kedua bocah kecil itu tetap berhasrat untuk mencari sekeping rupiah tanpa pernah goyah mengantuk.
Sigap mata mereka amat jelas menatap peluang, ketika serombongan kecil sebuah keluarga terburu-buru ingin menjalankan shalat dzuhur di mushalaa yang berada samping Stasiun Kota, Jakarta Barat, itu.
“Pak, mau nitip sepatunya? Bisa sekalian nyemir juga kok, Pak," sergah Arif, 14, kepada sosok kepala keluarga itu.
Tanpa basa-basi, Ian yang berusia sama menyodorkan secarik kecil kertas karton putih sebagai karcis tunggu kepada bapak tiga anak itu.
Sambil senyum tersipu, Arif dan Ian langsung menyemir kedua sepatu itu. Begitulah, keseharian kedua bocah ini. Meski masih sekolah di sebuah sekolah swasta di kawasan Kota, Jakarta Barat, mereka sudah harus berjuang mencari uang untuk jajan dan membantu meringankan beban orang tua.
“Lumayan Bang, sehari bisa bawa pulang sekitar Rp20 ribu. Ya sama ibu disaranin cari duit juga,” kata Arif, yang ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu itu. Ia harus bekerja keras sepulang sekolah untuk membantu ibunya yang hanya buruh cuci, sedangkan dua adiknya masih bersekolah di sekolah dasar.
Sama pula dengan Arif, Ian pun bermotif sama. Ia bahkan terpaksa nyemir di stasiun dekat rumahnya itu, sebab profesi ayahnya sebagai tukang las tak mampu membiayai nafkah keluarga.
Meski begitu, baik Arif maupun Ian ingin tetap belajar di sekolah guna mencapai cita-citanya menjadi guru.
Tak hanya kedua bocah itu yang harus miris dengan pahitnya kehidupan di Ibu Kota yang memaksa mereka bekerja walau usia masih dini demi mencari sekeping uang.
Dede, 17, remaja asal Purwakarta, Jawa Barat, pun bernasib serupa. Kala bapaknya menganggur dan ibunya yang hanya berjualan makanan kecil, Dede lantas memutuskan ke Jakarta tiga tahun lalu, atau tepatnya ketika usia 14 tahun.
Sekolah di kelas 2 SMP di Purwakarta ia tinggalkan, karena kondisi yang tertekan dan ajakan teman sebaya untuk merantau ke Jakarta. Tidak lain, motifnya adalah mengejar uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
"Mau bagaimana lagi, orang nggak ada duit. Minta ke orang tua, sudah nggak mungkin. Ya ngikut aja ke sini, ngamen sambil jualan kerupuk palembang," ujar Ade sambil sesekali memainkan sebuah lagu cinta sendu dengan gitar ukulelenya di pinggir trotoar Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Arif, Ian, dan juga Dede, hanyalah segelintiran anak-anak yang terpaksa bekerja demi sesuap nasi. Mereka adalah anak-anak yang tidak beruntung, di saat anak-anak lain menikmati masa-masa kanaknya dengan menyenangkan dan bisa bergaul dengan teman sebaya.
Mereka juga dipastikan tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan di masa anak-anak.
Sebut saja seperti, hak untuk belajar, bermain, beristirahat, kesehatan, hak atas upah, dan juga perlindungan.
"Sudah saatnya pemerintah memikirkan mereka yang harus terjun mengejar uang, untuk kehidupan mereka sehari-hari," papar pengamat perlindungan anak Giwo Rubianto Wiyogo, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Sebab, bila tidak ada tindakan pemerintah yang peduli atas perlindungan anak-anak, lambat laun mereka dikhawatirkan juga bisa menjadi anak-anak yang rentan mengeksploitasi anakanak lain, dan dapat menjadi anak-anak yang dieksploitasi pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Source : e-paper Media Indonesia - 1 April 2011
Sigap mata mereka amat jelas menatap peluang, ketika serombongan kecil sebuah keluarga terburu-buru ingin menjalankan shalat dzuhur di mushalaa yang berada samping Stasiun Kota, Jakarta Barat, itu.
“Pak, mau nitip sepatunya? Bisa sekalian nyemir juga kok, Pak," sergah Arif, 14, kepada sosok kepala keluarga itu.
Tanpa basa-basi, Ian yang berusia sama menyodorkan secarik kecil kertas karton putih sebagai karcis tunggu kepada bapak tiga anak itu.
Sambil senyum tersipu, Arif dan Ian langsung menyemir kedua sepatu itu. Begitulah, keseharian kedua bocah ini. Meski masih sekolah di sebuah sekolah swasta di kawasan Kota, Jakarta Barat, mereka sudah harus berjuang mencari uang untuk jajan dan membantu meringankan beban orang tua.
“Lumayan Bang, sehari bisa bawa pulang sekitar Rp20 ribu. Ya sama ibu disaranin cari duit juga,” kata Arif, yang ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu itu. Ia harus bekerja keras sepulang sekolah untuk membantu ibunya yang hanya buruh cuci, sedangkan dua adiknya masih bersekolah di sekolah dasar.
Sama pula dengan Arif, Ian pun bermotif sama. Ia bahkan terpaksa nyemir di stasiun dekat rumahnya itu, sebab profesi ayahnya sebagai tukang las tak mampu membiayai nafkah keluarga.
Meski begitu, baik Arif maupun Ian ingin tetap belajar di sekolah guna mencapai cita-citanya menjadi guru.
Tak hanya kedua bocah itu yang harus miris dengan pahitnya kehidupan di Ibu Kota yang memaksa mereka bekerja walau usia masih dini demi mencari sekeping uang.
Dede, 17, remaja asal Purwakarta, Jawa Barat, pun bernasib serupa. Kala bapaknya menganggur dan ibunya yang hanya berjualan makanan kecil, Dede lantas memutuskan ke Jakarta tiga tahun lalu, atau tepatnya ketika usia 14 tahun.
Sekolah di kelas 2 SMP di Purwakarta ia tinggalkan, karena kondisi yang tertekan dan ajakan teman sebaya untuk merantau ke Jakarta. Tidak lain, motifnya adalah mengejar uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
"Mau bagaimana lagi, orang nggak ada duit. Minta ke orang tua, sudah nggak mungkin. Ya ngikut aja ke sini, ngamen sambil jualan kerupuk palembang," ujar Ade sambil sesekali memainkan sebuah lagu cinta sendu dengan gitar ukulelenya di pinggir trotoar Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Arif, Ian, dan juga Dede, hanyalah segelintiran anak-anak yang terpaksa bekerja demi sesuap nasi. Mereka adalah anak-anak yang tidak beruntung, di saat anak-anak lain menikmati masa-masa kanaknya dengan menyenangkan dan bisa bergaul dengan teman sebaya.
Mereka juga dipastikan tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan di masa anak-anak.
Sebut saja seperti, hak untuk belajar, bermain, beristirahat, kesehatan, hak atas upah, dan juga perlindungan.
"Sudah saatnya pemerintah memikirkan mereka yang harus terjun mengejar uang, untuk kehidupan mereka sehari-hari," papar pengamat perlindungan anak Giwo Rubianto Wiyogo, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Sebab, bila tidak ada tindakan pemerintah yang peduli atas perlindungan anak-anak, lambat laun mereka dikhawatirkan juga bisa menjadi anak-anak yang rentan mengeksploitasi anakanak lain, dan dapat menjadi anak-anak yang dieksploitasi pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Source : e-paper Media Indonesia - 1 April 2011
Michi- bclass 4 stars
- Jumlah posting : 722
Join date : 08.10.10
Age : 35
Lokasi : Pekanbaru
Re: Kliping - Sekeping Uang Begitu Berarti buat Mereka
sedih x kak dengar cerita ny....
alhamdulilah dapat dilahirkn dn dpt merasakn indahny masa anak2...
alhamdulilah dapat dilahirkn dn dpt merasakn indahny masa anak2...
rudy_comel- bclass 4th
- Jumlah posting : 96
Join date : 08.10.10
Age : 33
Lokasi : JL. Srikandi KOmp. Wadya Graha 3 Blok. O . no 13.... DElima-Panam
Similar topics
» kecil bukan berarti lemah
» Tips Menyambung Uang yang Sobek
» Girls only - Mengapa Pria Militer Begitu Menggoda?
» Mau buat polling
» exercise di office... Buat Hilangin Ngantuk
» Tips Menyambung Uang yang Sobek
» Girls only - Mengapa Pria Militer Begitu Menggoda?
» Mau buat polling
» exercise di office... Buat Hilangin Ngantuk
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
Wed Jan 02, 2013 9:26 am by Michi
» Materi Dosen
Wed Dec 19, 2012 10:00 am by Michi
» Materi 20 Nov '12
Mon Nov 26, 2012 2:57 pm by shaka
» Catatan
Fri Nov 23, 2012 11:51 am by idna
» Materi 1-5
Wed Nov 21, 2012 11:45 am by Michi
» 3. Masalah Penelitian
Wed Nov 07, 2012 11:17 am by idna